Perjanjian
jual beli adalah suatu perjanjian yang dibentuk karena pihak yang satu telah
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak kebendaan dan pihak yang lain bersedia untuk membayar harga yang
diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Obyek dari perjanjian jual beli adalah
barang-barang tertentu yang dapat ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak
dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjualbelikan. Perjanjian jual
beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat
tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya
belum dibayarkan.
Surat
cek sebagai salah satu surat berharga adalah merupakan alat pembayaran tunai
secara giral sebagai pengganti uang kartal yang biasa digunakan dalam jual
beli. Namun, berpangkal dari ketentuan-ketentuan dalam hukum cek yang cenderung
memberikan peluang untuk terjadinya penyimpangan penggunaan cek, maka kemudian
timbulah masalah di dalam penggunaan cek yaitu cek kosong. Cek kosong yaitu
dimana tidak tersedianya dana ketika cek dicairkan atau diperlihatkan. Cek
kosong timbul karena adanya itikad tidak baik dari penerbit yang sering disebut
dengan tindakan penipuan.
Dalam
kasus cek kosong yang terjadi di Palembang antara PT Pulau Hijau Asri (PHA)
yang melaporkan Siti Faridah karena telah menerbitkan cek kosong bernilai Rp 2
miliar dan Rp 1,2 miliar. Penipuan cek kosong tersebut bermula dari perjanjian
pokok yaitu kontrak jual beli crude palm oil (CPO) antara PT Pulau Hijau Asri dengan Siti
Faridah, dimana perjanjian kontrak tersebut bernilai Rp3,2 milyar.
Penggunaan
cek sebagai salah satu media pembayaran transkasi telah dikenal sejak zaman
sebelum perang dunia ke II. Saat itu Indonesia sebagai negara tujuan
perdagangan utama memandang cek sebagai sebuah alat pembayaran yang paling
mudah digunakan. Menurut Keputusan Presiden nomor 470 tahun 1961 alat
pembayaran bisa berupa uang Kartal, seperti uang logam dan uang kertas, serta
uang giral, seperti cek.
Cek
diatur dalam Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 178 sampai dengan 229. Menurut
ketentuan pasal 178 KUHD, cek mempunyai ciri- ciri yaitu:
1. Nama
cek dimuatkan dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu
ditulisnya;
2. Perintah
tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3. Nama
orang yang harus membayarnya (tertarik);
4. Penetapan
tempat dimana pembayaran harus dilakaukan;
5. Tanggal
dan tempat cek ditariknya;
6. Tandatangan
orang yang mengeluarkan cek itu (penarik).
7. Personil
yang terlibat dalam surat cek adalah penerbit (orang yang menarik); tersangkut
(yaitu Bank); pembawa (orang yang ditunjuk); pemegang (orang yang diberi hak);
pengganti (orang yang menggantikan pemegang atau kepada endosemen. Cek tersebut harus dibayarkan oleh tersangkut
atas perintah penerbit selama cek tersebut tidak dibatalkan oleh penerbit.
Meskipun cek tersebut dapat dibatalkan namun tetap harus menunggu masa
penawaran berakhir yaitu setelah 70 hari sari selama cek tersebut belum diambil
atau diuangkan kepada bank oleh pemegang.
Pengaturan
mengenai penarikan cek kosong di Indonesia pernah dimasukkan sebagai bentuk
tindak kejahatan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek
Kosong. Dalam UU Nomor 17 Tahun 1964 bahkan penarik cek kosong bisa diancam
hukuman mati, penjara seumur hidup atau kurungan 20 tahun. Selain itu, penarik
cek kosong bisa didenda hingga enam kali nilai cek yang tertulis. Hukuman
dijatuhkan kepada si penanda tangan cek kosong, karena mereka lebih mengetahui
ketersediaan dana.
Pada
saat itu, pemerintah Indonesia menilai perbuatan penarikan cek kosong merupakan
tindakan manipulasi yang dapat mengacaukan dan menggagalkan usaha-usaha
pemerintah menstabilkan moneter dan perekonomian. Penarikan cek kosong bisa
mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lalu lintas pembayaran
dengan cek pada khususnya dan perbankan umumnya.
UU
Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong di dalam perkembangannya
kemudian dicabut melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No 12 Tahun
1971 tertanggal 16 Oktober 1971 oleh Presiden Soeharto saat itu. Dalam
pertimbangannya, pemerintah saat itu menilai UU tersebut menghambat kelancaran
lalu lintas perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan khususnya.
Kasus
Sriwijaya Post – Rabu, 22 Juli 2009
PALEMBANG
– Dua kali tagihan utangnya dibayar
dengan cek kosong, PT Pulau Hijau Asri (PHA) melalui kuasa hukumnya, Chairul S
Matdiah, SH melapor ke Polda Sumsel,
Rabu (2/7). Pelakunya tidak lain adalah Siti Faridah yang merupakan warga
negara Malaysia. Akibat perbuatan Siti, PT PHA diduga menderita kerugian hingga
Rp 3,2 miliar.
Kejadian
itu berawal dari kontrak jual beli crude palm oil (CPO) antara Siti dan PT PHA.
Perjanjian kontrak itu senilai Rp 3,2 miliar. Selanjutnya, Siti tidak juga
melakukan pembayaran terhadap perjanjian jual beli tersebut dan baru pada
minggu pertama Juli 2009 memberikan dua lembar cek. Kedatangan Siti pada saat
itu bersama dengan Muskani dan Zamzami. Adapun masing-masing cek bernilai Rp 2
miliar dan Rp 1,2 miliar. Saat dicairkan oleh salah satu karyawan PT PHA pada
tanggal 8 Juli 2009 ternyata cek tersebut kosong. Siti menemui kembali pihak PT
PHA setelah dikonfirmasi bahwa cek yang diberikannya kosong pada tanggal 20
Juli 2009. Siti pun memberikan cek yang baru sebagai alat pembayaran atas
perjanjian kontrak jual beli yang berimbas menjadi hutang tersebut. Namun,
lagi-lagi saat karyawan PT PHA hendak mencairkannya pada tanggal 24 Juli 2009,
cek itu pun merupakan cek kosong.
Analisis Permasalahan Dikaitkan
dengan Kasus
Pada
asasnya setiap penerbit yang menerbitkan
cek seharusnya berlatar belakang suatu
perbuatan dasar dimana penerbit sebagai
seorang nasabah di Bank yang mempunyai rekening tabungan mempunyai dana yang
cukup terlebih dahulu sebelum menerbitkan surat cek sebagai alat pembayaran.
Namun seringkali di dalam praktek penggunaan cek sering disalah gunakan sebagai
tindakan penipuan yaitu cek kosong.
Faktor
yang menjadi pendukung praktek penggunaan cek kosong adalah rahasia Bank. Bank
tidak akan memberikan informasi mengenai jumlah rekening nasabahnya. Jadi
apabila ternyata surat cek itu dananya tidak mencukupi atau kosong, penerima
surat cek tidak mungkin mengetahui hal itu. Penerima surat cek hanya percaya
bahwa pada saat diperlihatkan ia akan memperoleh pembayaran. Bagi penerbit
surat cek yang berspekulasi, hal ini merupakan kesempatan untuk memperoleh
kenikmatan dengan menerbitkan surat cek kosong atau membayar dengan cek kosong
dalam transaksi dagang.
Penyelesaian
masalah yang timbul dalam praktek penggunaan Cek kosong sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah
bahwa cek tersebut dapat ditagihkan kemudian hari sebelum habis masa
pengunjukannya yaitu 70 hari. Tetapi apabila masa pengunjukkan selama 70 hari
cek telah lewat dan cek masih ditolak karena belum tersedianya dana, maka masih
dapat dimintakan dana sampai waktu selama 6 bulan terhitung mulai hari penerbitan semula. Setelah waktu 6
bulan telah lewat (kardaluwarsa), pemegang cek
masih dapat melakukan Hak Regres.
Hak
regres adalah hak yang diberikan oleh undang- undang kepada pemegang surat
beharga dalam hal terjadi non akseptasi atau non pembayaran. Hak regres atau
hak recourse dalam kamus Bank
Indonesia adalah Hak Pemegang Surat Wesel/cek/surat sanggup untuk menagih
penarik/endosan/avalis guna mendapatkan pembayaran jika pihak tertarik menolak
melakukan pembayaran (recht van regres) dan
Recourse juga diartikan hak alih
bayar. Hak regres diatur di dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 153 KUHD. Adapun
melakukan hak regres dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Dengan
akte otentik yaitu tindakan yang dilakaukan pemegang dalam hal terjadi
penolakan pembayaran atau non akseptasi yang dibuat dihadapan notaries atau
juru sita yang diikiuti oleh 2 orang saksi. Akta tersebut adalah akta tentang
penolakan pembayaran atau non akseptsasi (pasal
143 (b) dan (c)).
2. Dengan
protes sederhana, tidak memakai formalitas tertentu artinya tidak harus dibuat
dalam akta tersendiri. Protes ini dilakukan dalam hal tidak ada klausa yang
melarang protes sederhana, pemegang tidak ingin melakukan protes otentik, pihak
yang diprotes bersedia memberikan
bantuannya yaitu dengan cara menuliskan pernyataan pada surat beharga bahwa
akseptasi dan pembayaran ditolak.
Dengan
melakukan notifikasi yaitu pemberitahuan dari pemegang kepada penerbit dan
kepada endosan sebelumnya tentang adanya penolongan akseptasi dan pembayaran
dalam waktu 4 hari kerja sesudah protes. Endosan yang menerima pemberitahuan
harus memberitahukan endosan lainnya dalam tenggang waktu 2 hari kerja sejak
saat ia menerima pemberitahuan. Namun notifikasi ini tidak merupakan unsur yang mutlak dalam melakukan hak regres
dan Undang-Undang tidak menegaskan bagaimana cara melakukan notifikasi sehingga
ditafsirkan bebas, baik dilakukan secara lisan atau tertulis.
Namun
pada dasarnya, setelah hak regres ini ditempuh, tetapi masih belum dilakukan
pembayaran, maka pemegang surat beharga dapat kembali kepada perjanjian pokok.
Dimana jika kita kaitkan dengan kasus yaitu perjanjian kontrak jual beli crude
palm oil (CPO) antara Siti dan PT PHA yang senilai Rp 3,2 miliar. Di dalam perjanjian kontrak jual beli
tersebut, Siti Faridah yang merupakan warga negara Malaysia berkewajiban
membayar Rp 3,2 milyar terhadap pembelian crude palm oil (CPO) terhadap PT
Pulau Hijau Asri (PHA).
Adapun
di dalam perjanjian kontrak jual beli untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
4 syarat sesuai dengan ketentuan psl 1320 KUHPerdata yaitu:
1. sepakat
mereka yg mengikatkan dirinya;
2. kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu
hal tertentu;
4. suatu
sebab yg halal.
Bila
sepakat sudah tercapai, maka perjanjian jual beli tersebut elah sah dan mengikat serta berlaku
sebagai Undang- Undang bagi mereka yaitu
bagi Siti Faridah dan PT PMA. Kata sepakat ini juga menciptakan hak dan
kewajiban bagi penjual dan pembeli. Penjual dalam hal ini PT PMA berkewajiban
untuk menyerahkan hak milik atas benda yang dijual belikan yaitu crude palm oil
(CPO), menjamin kenikmatan tenteram atas benda tsb dan menanggung cacat benda
yang tersembunyi. Pembeli berhak untuk
menerima barang atau benda yang diperjualbelikan dari Penjual dan berkewajiban
untuk membayar harga sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Jadi jika penjual
sudah melaksanakan kewajibannya aka penjual juga berhak menerima harga barang
berupa sejumlah uang pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan dalam
perjanjian.
Namun
dalam kasus “Utang Rp 3,2 Miliar Dibayar Cek Kosong” ini PT PMA tidak
mendapatkan hak nya yaitu uang pembayaran senilai Rp 3,2 milyar sesuai dengan
perjanjian jual beli yang telah mereka sepakati. Sehingga yang dapat dilakukan
oleh PT PMA adalah menggugat pihak tersebut dengan dasar wanprestasi yaitu
secara lengkap adalah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perjanjian,atau melanggar perjanjian, yaitu melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukan.
Dalam hal ini dengan dasarnya bahwa belum dipenuhinya prestasi dari pihak pembeli yaitu
Siti Faridah untuk melakukan pembayaran kepada pihak penjual (PT PMA). Gugatan atau sanksi bagi pelaku wanprestasi
dapat berupa menuntut ganti rugi(psl 1243 KUHPerdata) yg terdiri dari 3 unsur
yaitu :
1. biaya,
yaitu semua pengeluaran/ongkos yang secara nyata telah dikeluarkan oleh PT PMA;
2. ganti
rugi, yakni kerugian karena kerusakan barang milik kreditur yg diakibatkan
kelalaian debitur;
3. bunga,
kerugian yg berupa kehilangan keuntungan yg telah direncanakan oleh PT PMA. Hal
ini dapat juga dimintakan pembatalan perjanjian melalui pengadilan (psl 1266
KUHPerdata),atau membayar biaya perkara bila diperkarakan di pengadilan.
Selain
menggugat dibidang perdata, PT PMA dapat juga menggugat Siti Faridah di dalam
bidang pidana yaitu terkait masalah penipuan. Penipuan adalah sebuah kebohongan
yang dibuat untuk keuntungan pribadi tetapi merugikan orang lain. Pasal 378 KUHP
merumuskan sebagai berikut:
“Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
4 tahun.”
Akibat
dari Cek kosong adalah bank wajib memberikan surat peringatan 1,2 kemudian
surat pemberitahuan penutupan rekening nasabah jika menarik cek kosong 3
lembar/lebih dalam jangka waktu 6 bulan, menarik cek kosong 1 lembar dengan
nominal Rp1 Milyar atau lebih, dan namanya tercantum dalam daftar hitam yang
masih berlaku. Ketentuan mengenai Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
diatur dalam:
1. SEBI No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan
Cek/ Bilyet giro kosong
2. SEBI
No. 4/ 17/ DASP Perihal Perubahan Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata
Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
3. SEBI
No. 8/ 17/ DASP Perihal Perubahan Kedua Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal
Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
4. SEBI
No. 8/ 33/ DASP Perihal Perubahan Ketiga Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal
Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
Peraturan
untuk cek kosong hanya sebatas penutupan rekening dan pelaporan kepada Bank
Indonesia dan pemilik rekening tidak diperbolehkan berhubungan dengan bank-bank
di dalam maupun luar negeri. Itupun setelah pemilik rekening mengeluarkan cek
kosong selama 3 kali berturut-turut dalam kurun waktu enam bulan. Peraturan dan
sanksi ini kurang kuat untuk menghentikan seseorang mengeluarkan cek kosong.
Dengan
ditetapkannya Undang-undang larangan penarikan cek kosong yang meberikan
hukuman yang berat diharapkan transaksi usaha tidak akan terganggu dan
mengurangi penyelewengan yang selama ini terjadi dalam ranah cek kosong. Negara
Indonesia memerlukan peraturan yang tegas dan benar-benar dijalankan di
lapangan untuk mencapai kesejahteraan dan keamanan berinvestasi dan berbisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar