Jumat, 24 Juni 2016

“Penggunaan Cek Kosong sebagai Alat Pembayaran di Indonesia”

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibentuk karena pihak yang satu telah mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak kebendaan dan pihak yang lain  bersedia untuk membayar harga yang diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Obyek dari perjanjian jual beli adalah barang-barang tertentu yang dapat ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjualbelikan. Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan.
Surat cek sebagai salah satu surat berharga adalah merupakan alat pembayaran tunai secara giral sebagai pengganti uang kartal yang biasa digunakan dalam jual beli. Namun, berpangkal dari ketentuan-ketentuan dalam hukum cek yang cenderung memberikan peluang untuk terjadinya penyimpangan penggunaan cek, maka kemudian timbulah masalah di dalam penggunaan cek yaitu cek kosong. Cek kosong yaitu dimana tidak tersedianya dana ketika cek dicairkan atau diperlihatkan. Cek kosong timbul karena adanya itikad tidak baik dari penerbit yang sering disebut dengan tindakan penipuan.
Dalam kasus cek kosong yang terjadi di Palembang antara PT Pulau Hijau Asri (PHA) yang melaporkan Siti Faridah karena telah menerbitkan cek kosong bernilai Rp 2 miliar dan Rp 1,2 miliar. Penipuan cek kosong tersebut bermula dari perjanjian pokok yaitu kontrak jual beli crude palm oil (CPO)  antara PT Pulau Hijau Asri dengan Siti Faridah, dimana perjanjian kontrak tersebut bernilai Rp3,2 milyar.
Penggunaan cek sebagai salah satu media pembayaran transkasi telah dikenal sejak zaman sebelum perang dunia ke II. Saat itu Indonesia sebagai negara tujuan perdagangan utama memandang cek sebagai sebuah alat pembayaran yang paling mudah digunakan. Menurut Keputusan Presiden nomor 470 tahun 1961 alat pembayaran bisa berupa uang Kartal, seperti uang logam dan uang kertas, serta uang giral, seperti cek.
Cek diatur dalam Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 178 sampai dengan 229. Menurut ketentuan pasal 178 KUHD, cek mempunyai ciri- ciri yaitu:
1.      Nama cek dimuatkan dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya;
2.      Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3.      Nama orang yang harus membayarnya (tertarik);
4.      Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakaukan;
5.      Tanggal dan tempat cek ditariknya;
6.      Tandatangan orang yang mengeluarkan cek itu (penarik).
7.      Personil yang terlibat dalam surat cek adalah penerbit (orang yang menarik); tersangkut (yaitu Bank); pembawa (orang yang ditunjuk); pemegang (orang yang diberi hak); pengganti (orang yang menggantikan pemegang atau kepada endosemen.  Cek tersebut harus dibayarkan oleh tersangkut atas perintah penerbit selama cek tersebut tidak dibatalkan oleh penerbit. Meskipun cek tersebut dapat dibatalkan namun tetap harus menunggu masa penawaran berakhir yaitu setelah 70 hari sari selama cek tersebut belum diambil atau diuangkan kepada bank oleh pemegang.
Pengaturan mengenai penarikan cek kosong di Indonesia pernah dimasukkan sebagai bentuk tindak kejahatan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong. Dalam UU Nomor 17 Tahun 1964 bahkan penarik cek kosong bisa diancam hukuman mati, penjara seumur hidup atau kurungan 20 tahun. Selain itu, penarik cek kosong bisa didenda hingga enam kali nilai cek yang tertulis. Hukuman dijatuhkan kepada si penanda tangan cek kosong, karena mereka lebih mengetahui ketersediaan dana.
Pada saat itu, pemerintah Indonesia menilai perbuatan penarikan cek kosong merupakan tindakan manipulasi yang dapat mengacaukan dan menggagalkan usaha-usaha pemerintah menstabilkan moneter dan perekonomian. Penarikan cek kosong bisa mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lalu lintas pembayaran dengan cek pada khususnya dan perbankan umumnya.
UU Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong di dalam perkembangannya kemudian dicabut melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No 12 Tahun 1971 tertanggal 16 Oktober 1971 oleh Presiden Soeharto saat itu. Dalam pertimbangannya, pemerintah saat itu menilai UU tersebut menghambat kelancaran lalu lintas perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan khususnya.

Kasus
Sriwijaya Post – Rabu, 22 Juli 2009
PALEMBANG –  Dua kali tagihan utangnya dibayar dengan cek kosong, PT Pulau Hijau Asri (PHA) melalui kuasa hukumnya, Chairul S Matdiah, SH  melapor ke Polda Sumsel, Rabu (2/7). Pelakunya tidak lain adalah Siti Faridah yang merupakan warga negara Malaysia. Akibat perbuatan Siti, PT PHA diduga menderita kerugian hingga Rp 3,2 miliar.
Kejadian itu berawal dari kontrak jual beli crude palm oil (CPO) antara Siti dan PT PHA. Perjanjian kontrak itu senilai Rp 3,2 miliar. Selanjutnya, Siti tidak juga melakukan pembayaran terhadap perjanjian jual beli tersebut dan baru pada minggu pertama Juli 2009 memberikan dua lembar cek. Kedatangan Siti pada saat itu bersama dengan Muskani dan Zamzami. Adapun masing-masing cek bernilai Rp 2 miliar dan Rp 1,2 miliar. Saat dicairkan oleh salah satu karyawan PT PHA pada tanggal 8 Juli 2009 ternyata cek tersebut kosong. Siti menemui kembali pihak PT PHA setelah dikonfirmasi bahwa cek yang diberikannya kosong pada tanggal 20 Juli 2009. Siti pun memberikan cek yang baru sebagai alat pembayaran atas perjanjian kontrak jual beli yang berimbas menjadi hutang tersebut. Namun, lagi-lagi saat karyawan PT PHA hendak mencairkannya pada tanggal 24 Juli 2009, cek itu pun merupakan cek kosong.

Analisis Permasalahan Dikaitkan dengan Kasus
Pada asasnya setiap  penerbit yang menerbitkan cek seharusnya berlatar belakang  suatu perbuatan dasar dimana penerbit  sebagai seorang nasabah di Bank yang mempunyai rekening tabungan mempunyai dana yang cukup terlebih dahulu sebelum menerbitkan surat cek sebagai alat pembayaran. Namun seringkali di dalam praktek penggunaan cek sering disalah gunakan sebagai tindakan penipuan yaitu cek kosong.
Faktor yang menjadi pendukung praktek penggunaan cek kosong adalah rahasia Bank. Bank tidak akan memberikan informasi mengenai jumlah rekening nasabahnya. Jadi apabila ternyata surat cek itu dananya tidak mencukupi atau kosong, penerima surat cek tidak mungkin mengetahui hal itu. Penerima surat cek hanya percaya bahwa pada saat diperlihatkan ia akan memperoleh pembayaran. Bagi penerbit surat cek yang berspekulasi, hal ini merupakan kesempatan untuk memperoleh kenikmatan dengan menerbitkan surat cek kosong atau membayar dengan cek kosong dalam transaksi dagang.
Penyelesaian masalah yang timbul dalam praktek penggunaan Cek kosong  sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah bahwa cek tersebut dapat ditagihkan kemudian hari sebelum habis masa pengunjukannya yaitu 70 hari. Tetapi apabila masa pengunjukkan selama 70 hari cek telah lewat dan cek masih ditolak karena belum tersedianya dana, maka masih dapat dimintakan dana sampai waktu selama 6 bulan terhitung  mulai hari penerbitan semula. Setelah waktu 6 bulan telah lewat (kardaluwarsa), pemegang cek  masih dapat melakukan Hak Regres.
Hak regres adalah hak yang diberikan oleh undang- undang kepada pemegang surat beharga dalam hal terjadi non akseptasi atau non pembayaran. Hak regres atau hak recourse dalam kamus Bank Indonesia adalah Hak Pemegang Surat Wesel/cek/surat sanggup untuk menagih penarik/endosan/avalis guna mendapatkan pembayaran jika pihak tertarik menolak melakukan pembayaran (recht van regres) dan Recourse juga diartikan hak alih bayar. Hak regres diatur di dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 153 KUHD. Adapun melakukan hak regres dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1.      Dengan akte otentik yaitu tindakan yang dilakaukan pemegang dalam hal terjadi penolakan pembayaran atau non akseptasi yang dibuat dihadapan notaries atau juru sita yang diikiuti oleh 2 orang saksi. Akta tersebut adalah akta tentang penolakan pembayaran atau non akseptsasi (pasal  143 (b) dan (c)).
2.      Dengan protes sederhana, tidak memakai formalitas tertentu artinya tidak harus dibuat dalam akta tersendiri. Protes ini dilakukan dalam hal tidak ada klausa yang melarang protes sederhana, pemegang tidak ingin melakukan protes otentik, pihak yang diprotes  bersedia memberikan bantuannya yaitu dengan cara menuliskan pernyataan pada surat beharga bahwa akseptasi dan pembayaran ditolak.
Dengan melakukan notifikasi yaitu pemberitahuan dari pemegang kepada penerbit dan kepada endosan sebelumnya tentang adanya penolongan akseptasi dan pembayaran dalam waktu 4 hari kerja sesudah protes. Endosan yang menerima pemberitahuan harus memberitahukan endosan lainnya dalam tenggang waktu 2 hari kerja sejak saat ia menerima pemberitahuan. Namun notifikasi ini tidak merupakan  unsur yang mutlak dalam melakukan hak regres dan Undang-Undang tidak menegaskan bagaimana cara melakukan notifikasi sehingga ditafsirkan bebas, baik dilakukan secara lisan atau tertulis.
Namun pada dasarnya, setelah hak regres ini ditempuh, tetapi masih belum dilakukan pembayaran, maka pemegang surat beharga dapat kembali kepada perjanjian pokok. Dimana jika kita kaitkan dengan kasus yaitu perjanjian kontrak jual beli crude palm oil (CPO) antara Siti dan PT PHA yang senilai Rp 3,2 miliar.  Di dalam perjanjian kontrak jual beli tersebut, Siti Faridah yang merupakan warga negara Malaysia berkewajiban membayar Rp 3,2 milyar terhadap pembelian crude palm oil (CPO) terhadap PT Pulau Hijau Asri (PHA).
Adapun di dalam perjanjian kontrak jual beli untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat sesuai dengan ketentuan psl 1320 KUHPerdata yaitu:
1.      sepakat mereka yg mengikatkan dirinya;
2.      kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      suatu hal tertentu;
4.      suatu sebab yg halal.
Bila sepakat sudah tercapai, maka perjanjian jual beli  tersebut elah sah dan mengikat serta berlaku sebagai Undang- Undang  bagi mereka yaitu bagi Siti Faridah dan PT PMA. Kata sepakat ini juga menciptakan hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli. Penjual dalam hal ini PT PMA berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas benda yang dijual belikan yaitu crude palm oil (CPO), menjamin kenikmatan tenteram atas benda tsb dan menanggung cacat benda yang tersembunyi.  Pembeli berhak untuk menerima barang atau benda yang diperjualbelikan dari Penjual dan berkewajiban untuk membayar harga sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Jadi jika penjual sudah melaksanakan kewajibannya aka penjual juga berhak menerima harga barang berupa sejumlah uang pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.
Namun dalam kasus “Utang Rp 3,2 Miliar Dibayar Cek Kosong” ini PT PMA tidak mendapatkan hak nya yaitu uang pembayaran senilai Rp 3,2 milyar sesuai dengan perjanjian jual beli yang telah mereka sepakati. Sehingga yang dapat dilakukan oleh PT PMA adalah menggugat pihak tersebut dengan dasar wanprestasi yaitu secara lengkap adalah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian,atau melanggar perjanjian, yaitu melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Dalam  hal ini dengan dasarnya bahwa belum  dipenuhinya prestasi dari pihak pembeli yaitu Siti Faridah untuk melakukan pembayaran kepada pihak penjual (PT PMA).  Gugatan atau sanksi bagi pelaku wanprestasi dapat berupa menuntut ganti rugi(psl 1243 KUHPerdata) yg terdiri dari 3 unsur yaitu :
1.      biaya, yaitu semua pengeluaran/ongkos yang secara nyata telah dikeluarkan oleh PT PMA;
2.      ganti rugi, yakni kerugian karena kerusakan barang milik kreditur yg diakibatkan kelalaian debitur;
3.      bunga, kerugian yg berupa kehilangan keuntungan yg telah direncanakan oleh PT PMA. Hal ini dapat juga dimintakan pembatalan perjanjian melalui pengadilan (psl 1266 KUHPerdata),atau membayar biaya perkara bila diperkarakan di pengadilan.
Selain menggugat dibidang perdata, PT PMA dapat juga menggugat Siti Faridah di dalam bidang pidana yaitu terkait masalah penipuan. Penipuan adalah sebuah kebohongan yang dibuat untuk keuntungan pribadi tetapi merugikan orang lain. Pasal 378 KUHP merumuskan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Akibat dari Cek kosong adalah bank wajib memberikan surat peringatan 1,2 kemudian surat pemberitahuan penutupan rekening nasabah jika menarik cek kosong 3 lembar/lebih dalam jangka waktu 6 bulan, menarik cek kosong 1 lembar dengan nominal Rp1 Milyar atau lebih, dan namanya tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku. Ketentuan mengenai Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong diatur dalam:
1.      SEBI  No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
2.      SEBI No. 4/ 17/ DASP Perihal Perubahan Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
3.      SEBI No. 8/ 17/ DASP Perihal Perubahan Kedua Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
4.      SEBI No. 8/ 33/ DASP Perihal Perubahan Ketiga Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
Peraturan untuk cek kosong hanya sebatas penutupan rekening dan pelaporan kepada Bank Indonesia dan pemilik rekening tidak diperbolehkan berhubungan dengan bank-bank di dalam maupun luar negeri. Itupun setelah pemilik rekening mengeluarkan cek kosong selama 3 kali berturut-turut dalam kurun waktu enam bulan. Peraturan dan sanksi ini kurang kuat untuk menghentikan seseorang mengeluarkan cek kosong.

Dengan ditetapkannya Undang-undang larangan penarikan cek kosong yang meberikan hukuman yang berat diharapkan transaksi usaha tidak akan terganggu dan mengurangi penyelewengan yang selama ini terjadi dalam ranah cek kosong. Negara Indonesia memerlukan peraturan yang tegas dan benar-benar dijalankan di lapangan untuk mencapai kesejahteraan dan keamanan berinvestasi dan berbisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar