Jumat, 24 Juni 2016

“Analisis Kasus Kepailitan PT Cipta Televisi pendidikan Indonesia (TPI)”

Kepailitan merupakan suatu keadaan yang dialami oleh banyak perusahaan. Masalah kepailitan tentunya tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan utang piutang. Sebuah perusahaan dikatakan pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar utangnya terhadap perusahaan (kreditor) yang telah memberikan pinjaman kepada perusahaan yang pailit. Kasus pailitnya PT Cipta Televisi Indonesia atau yang lebih familiar disebut dengan TPI dengan slogan MIlik Kita Bersama ini adalah salah satu contoh dari begitu banyaknya perusahaan yang dinyatakan pailit oleh kreditornya.
Berawal dari tuntutan Crown Capital Global Limited (CCGL), sebuah perseroan yang berkedudukan di British Virgin Island terhadap TPI dalam dokumen resmi yang diperoleh di pengadilan, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Crown Capital melalui kuasa hukumnya, Ibrahim Senen, dengan perkara No. 31/PAILIT/2009/PN.NIAGA JKT PST, tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih US$ 53 juta (nilai pokok saja), di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. Pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$ 10.325 juta diluar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk mempailitkan TPI pada 14 Oktober 2009. Namun, rupanya Pengadilan Niaga melakukan kesalahan ketika memutusakan untuk mempailitkan TPI. Pengadilan Niaga tidak melakukan proses verifikasi utang piutang secara lebih jeli, sehingga akibatnya banyak pihak yang seakan akan menyalahkan keputusan Pengadilan Niaga yang tidak memberi kesempatan TPI untuk membela diri.
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali. Sungguh kabar yang membawa angin segar bagi TPI dan seluruh pihak yang telah mendukung TPI dalam usaha penolakan kasus pailit karena pada hari Selasa, 15 Desember 2009 Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi TPI yang diajukan oleh karyawan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Alhasil, putusan pailit atas TPI pun batal.
Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai
1.      Adanya utang;
2.      Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
3.      Adanya Kreditur lebih dari satu;
4.      Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”
5.      Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari. TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada. Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an.
Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu. Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar. Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada Hary Tanoe untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya. Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan.
Akhirnya BMTR sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI. Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003.
Crown Capital Global Limited (CCGL) memberikan tuduhan pailit kepada TPI. Tuduhan pailit oleh perusahaan Crown Capital Global Limited (CCGL) terhadap PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009. Putusan tersebut menuai banyak protes oleh para ahli hukum, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja TPI, dan semua konsumen siaran TPI di Indonesia. Hal ini disinyalir adanya campur tangan Markus (Makelar Kasus), sehingga kasus ini aneh sekali jika dikabulkan dengan mudahnya oleh Pengadilan Niaga.
Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :
1.      Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD53 juta. Utang dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.
2.      Dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen- dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
3.      Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggup menggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan pailit ini, kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan.
Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukti – bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD $50 juta. Atas instruksi pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond senilai USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan di kantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL.

Hasil Putusan Kasus Kepailitan TPI
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung.
Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai nampak, seperti bukti pembayaran tagihan utang oleh TPI. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar.
Lagipula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat – surat utang itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum. Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan diakatakan bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke pengadilan. Melihat dua kekeliruan di atas, dalam sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali, maka pada tanggal 15 Desember 2009 diputuskan bahwa TPI tidak pailit.
Akibat berita baik ini, keluarga besar PT TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh PT Media Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan syukuran dan memantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia tidak jadi dipailitkan karena laporan dugaan oleh CCGL tidak terbukti benar, bukti-bukti belum jelas, dan karena pembukuan laporan tahunan yang tersedia sangat jauh dari kata sederhana.
Perubahan nama TPI menjadi MNC hanyalah rebranding untuk kepentingan bisnis. Nama PT-nya tetap CTPI, tetapi brand usahanya  berganti menjadi MNC TV. MNCTV memandang bahwa teknologi informasi memiliki peran dalam meningkatkan kemampuan bersaing bagi pangsa pasar perusahaan atau lini bisnis.
MNCTV berada di posisi “sapi perah” karena MNCTV pertumbuhan bisnisnya rendah terutama dalam bidang periklanan tetapi posisi kompetitifnya kuat. Ketika namanya masih TPI, pendapatan iklan menempati urutan terbawah dari 10 stasiun televisi nasional untuk itu TPI mengganti namanya menjadi MNCTV agar pendapatan iklan bisa meningkat.
Hendaknya Pengadilan Niaga sungguh-sungguh memperhitungkan putusan hakimnya disesuaikan dengan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, verifikasi, dan bagaimana kreditor atau debitornya. Jangan sembarangan mengambil keputusan, karena akan berdampak pada pelanggaran kode etik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar