Kepailitan
merupakan suatu keadaan yang dialami oleh banyak perusahaan. Masalah kepailitan
tentunya tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan utang piutang. Sebuah
perusahaan dikatakan pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar utangnya
terhadap perusahaan (kreditor) yang telah memberikan pinjaman kepada perusahaan
yang pailit. Kasus pailitnya PT Cipta Televisi Indonesia atau yang lebih
familiar disebut dengan TPI dengan slogan MIlik Kita Bersama ini adalah salah
satu contoh dari begitu banyaknya perusahaan yang dinyatakan pailit oleh
kreditornya.
Berawal
dari tuntutan Crown Capital Global
Limited (CCGL), sebuah perseroan yang berkedudukan di British Virgin Island
terhadap TPI dalam dokumen resmi yang diperoleh di pengadilan, permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh Crown
Capital melalui kuasa hukumnya, Ibrahim Senen, dengan perkara No. 31/PAILIT/2009/PN.NIAGA JKT PST,
tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim
termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih US$ 53
juta (nilai pokok saja), di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. Pemohon juga
menyertakan kreditur lainnya yakni Asian
Venture Finance Limited dengan tagihan US$ 10.325 juta diluar bunga, denda,
dan biaya lainnya.
Melihat
laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk mempailitkan TPI pada 14
Oktober 2009. Namun, rupanya Pengadilan Niaga melakukan kesalahan ketika
memutusakan untuk mempailitkan TPI. Pengadilan Niaga tidak melakukan proses
verifikasi utang piutang secara lebih jeli, sehingga akibatnya banyak pihak
yang seakan akan menyalahkan keputusan Pengadilan Niaga yang tidak memberi kesempatan
TPI untuk membela diri.
Kejanggalan
ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang
tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI
melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada
Mahkamah Agung. Sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini dipimpin Ketua
Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M.
Hatta Ali. Sungguh kabar yang membawa angin segar bagi TPI dan seluruh pihak
yang telah mendukung TPI dalam usaha penolakan kasus pailit karena pada hari
Selasa, 15 Desember 2009 Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi TPI
yang diajukan oleh karyawan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Alhasil, putusan pailit atas TPI pun batal.
Berdasarkan
bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar
suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai
1. Adanya
utang;
2. Minimal
satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
3. Adanya
Kreditur lebih dari satu;
4. Pernyataan
pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”
5. Syarat-syarat
yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
TPI
pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00
WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI
Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya.
Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari. TPI didirikan oleh
putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan
sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada. Stasiun
televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui
tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian
memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut
pada pertengahan 1990-an.
Secara
berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada
tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang
sangat besar untuk periode tahun itu. Mbak Tutut pun yang saat itu juga
terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman
pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar. Di tengah kondisi
tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada Hary Tanoe untuk membayar sebagian
utang-utang pribadinya. Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai
Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi
PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi
antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan.
Akhirnya
BMTR sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta
dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI. Oleh sebab itu, kedua belah
pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya
Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan
ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada
Februari 2003.
Crown
Capital Global Limited (CCGL) memberikan tuduhan pailit kepada TPI. Tuduhan
pailit oleh perusahaan Crown Capital Global Limited (CCGL) terhadap PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009. Putusan tersebut menuai
banyak protes oleh para ahli hukum, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja
TPI, dan semua konsumen siaran TPI di Indonesia. Hal ini disinyalir adanya
campur tangan Markus (Makelar Kasus), sehingga kasus ini aneh sekali jika
dikabulkan dengan mudahnya oleh Pengadilan Niaga.
Menurut
Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang
obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown
Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah
:
1. Pada
1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias
Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD53 juta. Utang
dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.
2. Dibuat
sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx
menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine
Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang
sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke
rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh
manajemen baru TPI, dokumen- dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama
yang kemudian diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini
menjabat sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
3. Terjadi
transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan promissory
note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua
transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond
berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond,
jelas-jelas illegal.
Hal
ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus
yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggup
menggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan
pailit ini, kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut tetapi masyarakat
luas juga turut dirugikan.
Pihak
kuasa hukum PT TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan
bukti – bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM
Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx
Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian piutang antara
TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD $50 juta. Atas instruksi
pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening
pribadi pemilik lama.
Dalam
laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond
senilai USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang
dilakukan di kantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007
dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL.
Hasil Putusan Kasus Kepailitan TPI
Kejanggalan
ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang
tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI
melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada
Mahkamah Agung.
Setelah
proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum
teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai nampak, seperti bukti pembayaran
tagihan utang oleh TPI. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa surat
utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo pada tanggal 24
Desember 2006 telah berhasil dibayar.
Lagipula,
ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat – surat utang
itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum.
Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang
berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan kompleks seperti masalah dugaan
pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya
ada 1 kreditor yang merasa punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara
dalam persyaratan diakatakan bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa
dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke pengadilan. Melihat dua kekeliruan
di atas, dalam sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini yang dipimpin Ketua
Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M.
Hatta Ali, maka pada tanggal 15 Desember 2009 diputuskan bahwa TPI tidak
pailit.
Akibat
berita baik ini, keluarga besar PT TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh PT Media
Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan syukuran dan
memantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.
PT
Cipta Televisi Pendidikan Indonesia tidak jadi dipailitkan karena laporan
dugaan oleh CCGL tidak terbukti benar, bukti-bukti belum jelas, dan karena
pembukuan laporan tahunan yang tersedia sangat jauh dari kata sederhana.
Perubahan
nama TPI menjadi MNC hanyalah rebranding untuk kepentingan bisnis. Nama PT-nya
tetap CTPI, tetapi brand usahanya
berganti menjadi MNC TV. MNCTV memandang bahwa teknologi informasi
memiliki peran dalam meningkatkan kemampuan bersaing bagi pangsa pasar
perusahaan atau lini bisnis.
MNCTV
berada di posisi “sapi perah” karena MNCTV pertumbuhan bisnisnya rendah
terutama dalam bidang periklanan tetapi posisi kompetitifnya kuat. Ketika
namanya masih TPI, pendapatan iklan menempati urutan terbawah dari 10 stasiun
televisi nasional untuk itu TPI mengganti namanya menjadi MNCTV agar pendapatan
iklan bisa meningkat.
Hendaknya
Pengadilan Niaga sungguh-sungguh memperhitungkan putusan hakimnya disesuaikan
dengan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, verifikasi, dan bagaimana
kreditor atau debitornya. Jangan sembarangan mengambil keputusan, karena akan
berdampak pada pelanggaran kode etik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar